Perilaku jelek sumber ‘penyakit’
Sampeyan pasti sering alami hal seperti ini. Tepatnya, ketika lampu sudah berubah hijau, hitung mundur atau countdown masih lama, sekitar 60 detik. Namun demikian, kendaraan entah mobil atau motor bergerak perlahan. Makin kesal, pas giliran kita yang mau jalan, lampu sudah merah. Waktu menjadi mubazir karena tertahan lampu merah lagi.
“Pada simpang bersinyal, seringkali terjadi inefisiensi. Semestinya volume kendaraan yang keluar sekian banyaknya, karena adanya kolesterol jalan, maka yang keluar kurang dari semestinya,” ungkap Dr. Gede Pasek Suardika, Kasubdit Manajemen Keselamatan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan.
Menurut Gede yang melakukan penelitian di simpang jalan ini, kinerja simpang itu ditentukan dari kapasitas simpang yaitu volume lalu lintas maksimum yang dapat dialirkan dari suatu kaki simpang bersinyal dikalikan dengan waktu hijau dibagi dengan lama waktu siklus. “Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kinerja simpang bersinyal adalah panjang antrean dan lamanya waktu tunda,” jelasnya lagi.
Dari penelitiannya ia menyimpulkan sebesar 48 persen terjadi inefisiensi volume atau kapasitas kendaraan yang keluar dari simpang ini. Yang lebih mengagetkan, sekitar 50 persen, dari waktu lampu hijau terbuang percuma.
“Karenanya tidak heran, komulatif dari kehilangan waktu dan kapasitas kendaraan yang keluar, memperparah kemacetan yang terjadi,” sebut pria yang menulis disertasinya dengan judul Pengaruh Perilaku Pengguna Jalan Terhadap Kapasitas dan Keselamatan Lalu Lintas di Simpang Bersinyal.
Masih menurut Gede, faktor perilaku pengendara sangat berpengaruh terhadap arus jenuh yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja persimpangan. Ada 4 hal perilaku pengendara yang mempengaruhi. Yaitu perilaku melanggar garis stop, berbelok tidak menyalakan lampu, melanggar lampu lalu lintas dan melanggar jalur.
Ia lalu mengilustrasikan mengenai perilaku ini. “Kalau melanggar jalur misalnya seseorang hendak belok kanan, namun ia mengambil dari jalur kiri. Saat hendak berbelok, maka terjadi penumpukkan dari jalur yang dilewati.
Penumpukkan komulatif ini bisa diibaratkan kolesterol yang menghambat darah di dalam alirannya. Efeknya apa kalau di tubuh? Bisa stroke! Kalau di jalan bisa kemacetan total,” bilang pria berkantor di Jl. Medan Merdeka Barat, No. 8, Jakarta Pusat.
Solusinya, ada beberapa yang ditawarkan, seperti yellow line supaya ada jarak kosong untuk pengendara berakselerasi, harus melibatkan electronic enforcement seperti CCTV buat pelanggar jalur. “Paling penting kesadaran pengendara. Perilaku ini pada akhirnya bisa menyebabkan konflik dan kerugian secara materi. Ini harus dicegah sungguh-sungguh.” tutupnya.