Banyak yang bisa nyolong start
Masalah lampu dan sensor start hingga saat ini masih jadi perdebatan hot di kalangan pecinta adu kebut trek lurus. Pasalnya, catatan waktu tercepat bisa dibilang 60%-70% ditentukan saat start. Sisanya best time ditentukan performa pacuan. Artinya, penyeragaman sistem sensor balapan lurus yang susah untuk diloncati peserta harus segera diatur dan dibikin.
Yang terjadi saat ini, tak sedikit pembalap yang mampu ‘mengakali’ lampu sinyal untuk segera betot gas ini. Cara ini bisa memperkecil catatan waktu.
Lucunya lagi, “balapan di Jateng dan Jatim catatan waktunya bisa beda dengan di sini (Jabodetabek, red). Balapan di luar Jabodetabek ada yang dapat time 7,4 detik (trek 201 meter). Begitu ngegas di Sentul untuk dapat 7,5 detik saja susah. Rata-rata di atas 7,7 detik. Padahal dengan motor dan pembalap yang sama,” bilang Puguh Nuryanto, punggawa Overtune di Cimanggis, Depok.
Perbedaan catatan waktu karena beda sistem kerja lampu startnya. Kebanyakan lampu start yang dipakai sekarang, time-nya baru jalan ketika ban menyentuh sensor paling depan. Lampu bekerja lewat tiga sensor.
Teknik lompat jangkrik ini bisa memangkas 0,2-0,3 detik dibanding tanpa meloncat. Namun, trik ini sangat beresiko karena bila gagal bakal terkena pinalti jump start.
Akal-akalan itu tercipta lantaran tinggi sensor start terlalu pendek, cuma sekitar 3 cm. “Memang enggak fair. Dengan trik loncat motor yang enggak kencang bisa curi waktu paling besar 0,3 detik. Kesel juga sih tapi ya mau gimana lagi,” papar Eko Kodok, pembalap di bawah naungan PME Abirawa Mizzle GM Racing Team.
Sensor depan di tinggikan sebatas poros roda
Selain itu, penerapan reaction time masing-masing alat (lampu start) yang digunakan juga tidak seragam. “Kala pakai lampu startnya si A, bisa beda dengan punya si B atau yang lainnya. Makanya susah untuk dapat catatan waktu yang konstan,” imbuh Ute Cuters, joki GF Boyza K Tech RT asal Jakarta.
Ketika di event drag bike, tak sedikit pembalap yang berusaha menghafal kerja timing system. Tujuannya untuk mencari kelemahan dari alat tersebut. “Sebelum ngegas pembalap pada nongkrong di garis start. Mempelajari sensor lampu start,” tutur Asep Bajay, joki asal Jakarta.
“Kalau menurut gue untuk mengatasi itu semua, pertama harus ada penyera-gaman lampu start. Mau di Jakarta kek, di Jawa atau pun luar Jawa, tetap seragam. Aturan penyeragaman ini yang bikin IMI,” usul Puguh.
Sementara biar tidak ada yang bisa nyolong start, lanjut Puguh, sensor yang ada di depan ban ditinggikan. “Diposisikan sejajar poros roda. Sedang yang belakang tingginya sekitar 5 cm dari aspal. Sementara jarak sensor (sinar infra red, red) ke ban dikasih space sekitar 3 cm totalnya. Gue jamin sampai budeg gak bakal ada yang bisa nyolong start,” yakinnya.
Usul Puguh pun kabarnya sudah lebih duluan ditanggapi PP IMI. Kabarnya tahun depan sensor posisi ban ini akan dinaikan jadi lebih kurang 10 cm. “Iya isunya sih seperti itu. Dengan tinggi segitu, pembalap pasti bakal mikir dua kali untuk lompatin sensor,” tukas Eko. (motorplus-online.com)