Ayo seragamkan aturan bobot. Regulasi bobot kejurnas jangan berbeda dengan club event. Inilah yang ramai dibicarakan di tiga balapan lurus berbeda kota, Sabtu-Minggu lalu (21-22/12). Minggu ini berlangsung Kejurda Drag Bike IMI Jabar Mizzle (KDBIJM) di Cikarang, Kejurda Drag Bike IMI Jatim di Lumajang, dan Kosgoro 57 VSC Nite Drag Bike (KVDB) di Wates, Jogja.
Enggak sekali terjadi, mayoritas peserta di beberapa gelaran balapan lurus mengeluh dan protes. Juri lomba dan juri teknik mau menerapkan aturan bobot yang dipakai sesuai aturan kejurnas. Padahal, mayoritas gelaran non nasional memberlakukan aturan yang sudah ada. Regulasi berdasarkan kesepakatan perwakilan komunitas balapan lurus di Indonesia sejak 8 tahun lalu.
“Penyeragaman bikin gampang. Enggak perlu repot penyesuaian berat yang berbeda di event yang satu dengan event lainnya,” ujar Ardiansyah Ucil, joki asal Cikarang dari tim Anker Sport Hariots FT Key Speed IRC Lupromax GM. “Kalau mau diseragamkan ayo, asal sesuai dengan fakta di lapangan,” timpal Antok, juruk korek tim BMS, Malang.
Ada aturan bobot motor plus joki yang sering dibakukan di event non kejurnas. Kelas Bebek dan Skubek minimal 105 kg, Sport 115 kg, dan kategori FFA paling ringan 90 kg. Regulasi ini sudah tidak lagi diwajibkan PP IMI.
“Seakrang regulasi kejurnas terlalu berat. IMI menyamakan dengan berat di road race. Akhirnya, di non kejurnas tim dan pembalap lebih memilih aturan yang sudah lebih duluan banyak diterapkan,” urai Denny Kusmayadi, Ketua Teknik dari Nonname, promotor KDBIJM, Cikarang.
“Di Jatim dan Jabar ada penimbangan. Event di Jogja dan Jateng sering gak ditimbang. Kalau mau diseragamkan lebih bagus lagi. Tapi, semua Pengprov IMI juga harus sepakat wajib ada penimbangan di drag,” timpal Permadi Permata Wijaya, pemilik tim Permata Wijaya OLS, Jogja.
Penerapan regulasi bobot yang berbeda-beda di event yang satu dengan gelaran yang lain berpengaruh secara teknis. Bahkan, ada resiko keluar biaya tambahan.
“Minimal ubah rangka. Ini kalau mau motornya stabil dan enggak banyak tambahin pemberat. Biaya yang keluar Rp 1,5 juta,” kata Antok. “Pembalap harus bisa adaptasi dengan cepat. Kalau enggak, pengaruhnya besar untuk catatan waktu,” bilang Hafid BR, tunner tim Sinogo Buah Raya Shan MDZ, Jogja.
Berat motor dan joki yang sudah diterapkan juga wajib melihat kondisi ma-yoritas peserta. Artinya, pembuat aturan harus mendengarkan mayoritas pelaku balapan lurus. Jangan main ketok palu, tapi berbeda jauh dengan yang terjadi di lapangan.
“Sekali lagi drag bike bukan road race. Saya dan teman-teman komisi sejak 8 tahun lalu sudah mencatat aturan bobot yang diminta mayoritas peserta. Hasilnya berjalan sebelum dua tahun belakangan ini. Kalau disamakan dengan road race, pasti banyak yang menentang,” kata Bambang Diro, salah seorang tokoh peracik regulasi kejurnas.
Seandainya sudah ada penyeragaman efek baiknya jauh lebih besar. Tim-tim akan bisa menyiapkan motor tanpa perlu otak-atik untuk ikut di gelaran lain yang regulasi bobotnya berbeda.
“Bagusnya seperti tahun 2008. Bebek dan skubek 105 kg dan kelas Sport 115 kg. Berat ini enggak akan banyak masalah dengan peserta. Seandainya harus nambah beban banyak bahaya untuk joki. Motor bisa enggak stabil,” tutup Agung Unyil, joki tim SJRT Uye-Uye, Kediri.
Pastinya kontestan drag akan jauh lebih enak kalau semuanya tegas dan jelas. Enggak ada lagi aturan berat berbeda-beda bergantung promotor. Penyera-gaman berat akan menjaga keselamatan joki. (www.motorplus-online.com)