Fenomena cabe-cabean di lingkungan balap liar jadi perhatian tersendiri. Hadirnya cewek di antara para batangan di lintasan balap liar bisa dilihat dari banyak sisi. Termasuk dari sisi psikologis.
Zoya Amirin, psikolog dari lembaga psikologi RS Pondok Indah ini menyatakan, hadirnya ABG di lingkungan balap, mirip dengan fenomena groupies. “Para ABG ini seperti mengidolakan pembalap atau mekanik yang motornya paling kencang. Terlebih lingkungan balap identik dengan laki-laki macho,” paparnya.
Kedekatan dengan seorang pembalap atau mekanik yang motornya paling kencang menjadi kebanggaan tersendiri buat mereka. Sehingga kelamaan ada semacam persaingan di antara mereka untuk bisa mendekati pembalap atau mekanik yang menurut mereka paling jago.
Dari persaingan memperebutkan yang paling jago yang pasti jumlahnya lebih sedikit, maka timbullah persaingan di antara mereka. Timbullah persepsi, yang berhasil mendekati juara, memiliki penilaian lebih tinggi. Bahkan dianggap naik level.
Adanya persaingan ini pula yang akhirnya menimbulkan pergeseran nilai yang dimiliki. Tentu jadi berbeda dari penerapan awal. Seperti yang dikenal banyak orang sekarang bahwa cabe-cabean memiliki nilai negatif.
Paling jadi sorotan umum dan menilai cabe-cabean negatif lebih kepada sisi sosial. Pergaulan malam di trek bisa juga dimanfaatkan untuk hal negatif. Seperti pertukaran atau transaksi obat terlarang, minuman keras, atau bahkan menjurus pada seks bebas. Peran ortu alias orang tua jadi penting. Sebab banyak dari mereka usia belasan atau setara SMP. (motorplus-online.com)