Mengapa hal ini menjadi penting? Menurut Hario, balap seperti olahraga high impact lainnya memiliki potensi kecelakaan yang sangat tinggi, bahkan beresiko kematian. Penanganan yang telat atau salah antisipasi akan berakibat fatal.
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1971 ini menyebutkan organ vital yang benar-benar harus dilindungi adalah kepala. Alasan medisnya, otak di kepala bagian paling halus. Organ ini yang harus benar-benar dilindungi dari guncangan dan benturan.
“Jika sampai bergetar hingga menyebabkan pingsan, jelas itu ada tekanan ke otak yang efeknya membuat tidak sadar. Ini dinamakan gegar otak ringan. Yang parah, ditandai jaringan otak ada luka dan pendarahan,” kata suami Berty Tilarso.
Untuk menghindarkan dampak buruk, korban harus dibawa ke rumah sakit kemudian di scan kepalanya. “MRI untuk ini untuk memastikan apakah ada pendarahan. Jadi, sekali jatuh yang menyebabkan kepala mengalami gegar otak berat maka korban harus discan. Yang jadi masalah biaya scan itu mahal. Sekitar Rp 2 juta-Rp 2,5 juta,” bilangnya sambil menyebutkan scan atau cek up itu tidak wajib bagi pembalap selama tidak mengalami benturan parah di bagian kepala.
Karena tim manager harus memiliki data mengenai kejadian yang telah menimpa pembalap atau atletnya. “Di tinju, tim medis yang bertugas memiliki data mengenai atlet yang bertanding. Ada semacam buku yang mencatat mengenai riwayatnya. Apakah pernah KO, bagaimana penanganan pasca KO. Semua itu harus terdata dengan baik,” katanya.
Dari data-data medis itulah seorang dokter merekomendasikan berdasarkan data laporan hasil scan. “Dokterlah yang memutuskan layak tidaknya atlet untuk boleh tidaknya berlomba. Jadi kalau sudah jatuh berulang-ulang mestinya harus ada penangan yang lebih serius,” katanya.
Jadi, apa masih ada aturan safety medis untuk balapan di Indonesia? (www.motorplus-online.com)