Hal itu tertuang dalam pasal 112 ayat 3 yang bunyinya, pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat jalan lalu lintas, pengendara dilarang langsung belok kiri. Kecuali ditentukan oleh rambu lalu lintas atau isyarat lalu lintas lain.
Jelas sekali larangan belok kiri langsung jika tidak ada tanda lalu lintas. Tetapi sosialisasi di masyarakat yang pada awal pemberlakukan UU itu sepertinya tidak mengena di masyarakat. Karena masih banyak pengendara beranggapan belok kiri masih boleh langsung.
Tanda lalu lintas yang menyertai diperbolehkannya belok kiri langsung, misalnya, tulisan di bawah lampu lalu lintas, belok kiri langsung, atau ada lampu lalu lintas warna kuning menyala dengan bentuk panah ke kiri. Bisa juga dengan marka jalan untuk memisahkan pengendara yang akan belok kiri.
Pengalaman banyak pengendara, terutama di kota besar seperti Jakarta yang menutup jalur belok kiri, langsung mendapat protes dari pengguna lalu lintas di belakangnya. "Saya diklaksonin motor dan mobil di belakang. Padahal jelas-jelas ada tulisan di bawah rambu lalu lintas, belok kiri mengikuti rambu. Bikin kesal memang. Kebiasaan itu sepertinya susah sekali hilang," aku Pramudya, cewek yang sehari-hari besut Vario.
"Sosialisasi sudah dilaksanakan pada awal pemberlakuan UU itu. Kalau sekarang masih ada yang belok kiri langsung tanpa ada tanda lalu lintas yang membolehkan, polisi tentunya berhak menilang," terang Brigjend. Pol. Boy Rafli Amar, Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Divisi Humas Polri.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketetapan itu polisi juga bisa memberikan sanksi denda tilang. Denda yang dikenakan bisa bervariasi. Pada pasal 287 ayat 1 UU yang pelanggaran marka jalan dan rambu akan dikenai pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda uang paling banyak Rp 500.000.
ÔÇ£Tetapi tidak semuanya diterapkan dengan aturan maksimal. Semua tergantung kebijakan polisi di lapangan,ÔÇØ tambah Brigjend Boy Rafli Amar lagi. (motorplus-online.com)
KOMENTAR