Banyak anggapan, Badui dalam sangat tertutup buat dunia luar dan sulit dikunjungi. Anggapannya benar walau nggak sepenuhnya. Mereka tertutup karena patuh adat isitiadat yang berlaku. Punya aturan dan etika yang sulit dilakoni masyarakat modern.
Akses ke sana cukup menantang. Dari Badui luar, kawasan Ciboleger, kita wajib jalan kaki sekitar 40 km, atau 5 jam. Atau bisa juga lewat Desa Cijahe yang lebih dekat, sekitar 2 jam perjalanan untuk sampai ke Cibeo, Badui dalam, propinsi Banten.
Tapi, di sisi lain mereka sangatlah terbuka menerima orang luar. Masyarakatnya ramah, bersahaja dan sangat cerdas. Kita sebagai tamu wajib hormat pada aturan mereka, pantang pakai alat elektronik, pantang memotret, pantang pakai sabun-sampo atau alat alat kimia kalau mandi di Desa Cibeo, Badui Dalam.
“Masuk ke Badui Dalam tentu pengalaman luar dari dunia bikers. Jangan berpikir kita bisa silaturahmi naik motor trail ala adventure. Untuk mencapainya wajib jalan kaki. Rombongan kami sampai di Ciboleger pada Kamis siang (11/5), wilayah Badui Luar. Disana, diterima ramah oleh Kang Emen, warga Badui luar, diajak makan siang bersama di rumahnya yang asri.
Di sana sudah ada beberapa sahabat baru kami, Kang Aldi Saija dan beberapa teman baru warga Badui Dalam. Merekalah yang mengantar kami ke Desa Cibeo, 5 jam perjalanan. ”Buat kami mungkin hanya 1,5 sampai 2 jam saja berjalan kaki. Untuk yang tak biasa menempuh medan berat, bisa memakan waktu sampai 5 jam,” buka Aldi dalam bahasa Indonesia yang baik dan jelas.
Saat masih di wilayah Badui luar, kami masih boleh berfoto bersama. Warga Badui Dalam sangat ramah dan terbuka. Mereka enjoy diajak foto juga berselfie ria. “Nah, kalau sudah masuk, pantang berfoto lagi,” ramah Aldi.
Biar melelahkan, perjalana ke Cibeo sangat berkesan. Vegetasi rapat, alam yang asri dan udara segar. Sesekali bertemu bajing yang mengintip diantara pohon besar. Dalam perjalanan, kita masih bertemu peradaban. Beberapa desa kecil wilayah Badui Luar masih boleh membuka warung sajikan minuman atau cemilan teman perjalanan.
Hampir 3 jam sudah perjalanan di zona Badui Luar ini, rombongan bertemu jembatan terakhir perbatasan ke Badui Dalam. Di sini, kami sudah wajib patuh pada aturan adat, untuk tidak mengambil gambar juga pakai barang-barang modern.
Sebelum masuk Cibeo, kita akan melewati tanjakan curam melelahkan yang beken disebut Tanjakan Cinta. He..he.. disebut begitu karena sangat melelahkan dan berbekas di hati setiap orang yang pernah lewat. Nah, silakan istirahat, kembalikan ritme jantung karena tak lama lagi kita sudah dekat ke Desa Cibeo, Badui Dalam.
Di ujung desa, kami sudah ada di sore yang sejuk dan mentari yang nyaris bersembunyi di horizon Barat. Segelintir warga masih bekerja di ladang dan selalu tersenyum saat berpapasan. Dunia yang sangat bersahaja. Anak-anak kecil bermain dan berlarian diantara bebetuan. Beberapa dari mereka mandi di sungai yang luarbiasa jernih.
Dibandingn pakaian modern, penampilan mereka sungguh estetis. Pria berbaju serupa baju koko warna putih dan sarung hitam bermotif khas Badui. Mereka memakai iket kepala putih dan golok yang selalu terselip di pinggang.
Wanitanya menyerupai kebaya hitam dan sedikit motif. Kulit mereka relatif putih bersih dan wajah yang berseri-seri dan berpantang pakai alas kaki. ”Ini salah satu kewajiban agar kita selalu dekat dengan alam,” terang Mursid, tokoh masyarakat di sana.
Kami langsung dipersilakan rehat di salah satu rumah penduduk. Hidangan gula aren, singkong dan kelapa muda tersaji. Beberapa tetua kampung berkumpul dan share dengan rombongan. Dengan sabar dan runtut mereka melayani pertanyaan kami seputar adat istiadat, keseharian berikut harapan mereka.
Terus terang, cara berpikir mereka sangat maju. Tiap rumah disediakan bak sampah dari anyaman bambu. Tak ada sampah berserakan, superbersih alias sangat resik. Sungai pantang dikotori sabun, sampo atau barang-barang kimia lainnya.
Bagi mereka inilah rahasia kebahagian dan selalu bersahabat dengan alam, sesuai amanat buyut: ”Buyut yang dititipkan kepada Puun, negara tiga puluh tiga, sungai enampuluh lima, pusat dua puluh lima Negara, gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, yang benar harus dibenarkan”
Malam itu kami tidur nyenyak tanpa nyamuk. Pagi hari mandi di sungai bersama warga Badui Dalam. Beres makan siang kami diantarkan ke Desa Cijahe, wilayah Badui Luar. Sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama hingga mereka pamitan masuk lagi ke sebuah peradaban nan indah yang tak pernah berubah selama ribuan tahun.
Momen yang bikin rindu untuk selalu kembali. God bless you all, warga Badui Dalam… (www.motorplus-online.com)
KOMENTAR