Peraturan yang memperluas larangan untuk dilewati motor di Jakarta ditentang.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang keras menentang diberlakukannya perluasan kawasan larangan motor.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, beberapa studi menyebut kebijakan perluasan larangan sepeda motor di Jakarta tidak dapat mengatasi kemacetan.
"Ini (perluasan larangan sepeda motor) bukanlah kebijakan yang tepat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta," kata Alghiffari di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Minggu (3/9/2017).
(BACA JUGA: Saling Tukar Gir Belakang Motor 150 cc Honda)
Perluasan larangan sepeda motor, lanjut Alghiffari, juga tidak sesuai nalar.
Motor bukanlah penyebab kemacetan yang terjadi di Ibu Kota.
"Ini kebijakan yang menurut kami di luar nalar. Nalar kami adalah yang menyebabkan macet justru kendaraan yang lebih besar ukurannya," kata dia.
LBH Jakarta merupakan salah satu pihak yang menolak perluasan larangan sepeda motor di Ibu Kota.
Selain karena alasan yang tak sesuai nalar, Alghiffari menyebut tidak ada kajian komprehensif mengenai kebijakan itu.
"Kami memprotes kebijakan ini karena kami tidak menemukan ada analisis ataupun kajian komprehensif mengenai kebijakan tersebut. Ini kebijakan tanda dasar," ucap Alghiffari.
Sementara, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Taufiqurrahman meminta Pemprov DKI Jakarta tak menyalahkan sepeda motor sebagai penyebab kemacetan di Jakarta.
Menurut Taufiqurrahman, penyebab kemacetan di Jakarta bukan karena banyaknya jumlah sepeda motor di Ibu Kota.
"Kalau dia bilang supaya enggak macet, janganlah yang jadi biang kemacetan ini disalahin pengguna motor. Kajiannya belum ada," ujar Taufiqurrahman saat ditemui terpisah di Kantor LBH Jakarta.
Taufiqurrahman menyampaikan, perluasan larangan sepeda motor bukan solusi untuk mengatasi kemacetan.
Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, kata dia, persoalan yang menjadi penyebab kemacetan harus dilihat secara menyeluruh.
"Misalnya berapa jumlah ruas jalan, berapa penambahan kendaraan bermotor itu sendiri setiap hari setiap bulannya, kemudian bagaimana efektivitas transportasi massal yang ada hari ini. Itu semua kan tidak bisa dilihat secara terpisah," kata dia.
Penulis | : | Niko Fiandri |
Editor | : | Niko Fiandri |
KOMENTAR