Kereta rel listrik (KRL) jadi alternatif saat ini untuk warga di lingkar luar yang mau ke Jakarta seperti dari Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Tapi enggak semua pemotor mau pindah naik ke KRL.
Alasannya biaya naik motor jauh lebih irit dibanding naik KRL. Untuk ukuran Jabodetabek, KRL commuter line merupakan salah satu moda transportasi umum favorit.
Selain tarifnya murah, waktu tempuh commuter line lebih cepat dibandingkan bus.
(BACA JUGA: Rawat Helm Kesayangan Dengan 10 Tips simpel ini)
Namun, berdasarkan hasil wawancara pengguna motor kemarin (4/9/2017), tak ditemukan adanya pengguna motor yang ingin beralih ke KRL.
Naik motor ketimbang KRL karena malas berdesak-desakan atau total pengeluaran yang lebih mahal ketimbang harga bahan bakar.
Warga yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Akbar (30), tak mau tersiksa karena harus berdesak-desakan di KRL.
"Ada kabar dari teman-teman yang naik KRL, mereka tersiksa harus berdesakan bahkan sikut-sikutan. Itu yg membuat gue terus naik motor," ujar pria yang berkantor di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu.
Memang, pada jam sibuk, atau pada jam warga berangkat dan pergi kerja, KRL kerap padat penumpang.
Namun pada saat bersamaan, jalan raya juga sebenarnya macet. Hal ini pun diakui oleh Akbar.
Bahkan, Akbar menyebut tingkat kemacetan dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerjanya semakin parah dalam beberapa bulan terakhir karena adanya pembangunan jembatan layang di kawasan Pancoran.
Namun, kondisi itu tak membuat Akbar mau beralih naik KRL. Ia bahkan menyatakan lebih memilih terkena macet ketimbang harus desak-desakan di dalam KRL.
"Jujur lebih pilih macet. Pertama, meski macet gue bisa atur ritme sendiri dengan motor yang gue gunakan. Kedua, macet itu enggak setiap hari di jalan yang sama. Di saat-saat tertentu meski jam sibuk jalanan itu ada kalanya lengang," kata Akbar.
Warga Lenteng Agung lainnya, Dwi (27), memilih naik motor karena ongkos yang harus dikeluarkannya saat naik KRL lebih mahal.
Saat menggunakan motor, Dwi mengaku mengeluarkan Rp 50.000 untuk bahan bakar dari rumah ke tempat kerja pulang pergi selama lima hari.
Sementara itu, jika naik KRL, Dwi mengaku harus mengeluarkan ongkos Rp 12.000 dalam satu hari.
Ongkos itu masing-masing digunakan untuk ongkos ojek dari rumah ke Stasiun Lenteng Rp 3.000, naik KRL dari Stasiun Lenteng ke Gondangdia Rp 3.000, ongkos balik dari Gondangdia ke Lenteng Rp 3.000, dan ongkos ojek dari Stasiun Lenteng kembali ke rumah Rp 3.000.
Menurut Dwi, ongkos bisa sedikit naik jika dari rumah ke stasiun menggunakan motor.
"Karena kalau bawa kendaraan markir di stasiun Rp 8.000," ujar Dwi.
Ia menyatakan akan pindah naik KRL jika parkir di stasiun digratiskan.
"Parkir di stasiun gratis. Karena itu kan bukan bisa mengurangi pengeluaran juga," ujar dia.
Pengguna motor lainnya, Tama (25), menyampaikan hal senada. Warga yang tinggal di Jalan Margonda Depok ini menilai ongkos yang harus dikeluarkannya untuk naik transportasi umum lebih mahal ketimbang naik motor.
Tama sehari-hari bekerja di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Jika naik transportasi umum, ongkos yang harus dikeluarkannya dalam sehari bisa mencapai Rp 13.000.
Ongkos tersebut digunakan untuk biaya naik KRL dari Stasiun Pondok Cina-Stasiun Sudirman pulang pergi Rp 6.000 dan biaya naik transjakarta dari Stasiun Sudirman ke tempat kerja di Semanggi pulang pergi Rp 7.000. "Kalau naik motor lumayan Rp 20.000 bisa buat tiga hari," ujar Tama.
Artikel ini sudah dipublikasikan Kompas.com dengan judul Pengendara Motor Cenderung Enggan Beralih ke Angkutan Umum, Mengapa?
Penulis | : | Niko Fiandri |
Editor | : | Niko Fiandri |
KOMENTAR