MOTOR Plus-online.com - Perang dunia ke-2 yang berlangsung mulai tahun 1939-1945 meninggalkan banyak cerita.
Tidak terkecuali cerita tentang motor-motor legendaris yang menjadi alat perang pada kala itu.
Bicara soal motor perang legendaris, tidak sah sepertinya kalau tidak membahas BSA M20 SV.
Ini merupakan motor perang andalan tentara Inggris.
Dibuat di Inggris juga tepatnya di pabrik Birmingham Small Arm Company di Armoury Road, Small Heath Birmingham.
(BACA JUGA : Bikers Waspada Saat Lewat Gajahmungkur, Heboh Sopir Taksi Online Dicegat Kuntilanak)
Menjadi legendaris karena ini adalah motor terlama yang digunakan oleh tentara Inggris.
Bukan cuma itu, banyak yang mengabarkan kalau BSA M20 SV adalah motor perang yang paling banyak digunakan.
Tentunya ada alasan khusus kenapa motor yang didesain oleh insinyur bernama Valentine Page (1892-1978) ini jadi andalan.
Salah satunya karena desain mesin yang digunakan sederhana dan enggak neko-neko.
Itu sangat penting untuk motor perang.
(BACA JUGA : Sejarah Honda Nova Tena 110RS Ahmad Jayadi, Ayam Jago Teristimewa!)
Tujuannya agar terjadi kerusakan di area perang gampang dilakukan perbaikan.
Menariknya lagi, karena sangat berpengaruh saat perang membuat motor ini jadi target pemburuan tentara Jerman.
Pada malam selasa, tanggal 19 November 1940, pabrik BSA M20 di Armoury Road, Small Heath, Birmingham di hancurkan dengan bom oleh angkatan udara Jerman “Luftwaffe”.
Pesawat angkatan udara Jerman terbang rendah dan menjatuhkan dua bom yang menghancurkan ujung selatan pabrik BSA.
Total 53 pekerja tewas dan 89 orang terluka dari peristiwa tersebut.
Banyak peralatan pabrik yang rusak dan hancur.
Tapi pada saat itu BSA mempunyai banyak pabrik sehingga proses produksi dipindah ke pabrik yang lain dan produksi M20 berjalan terus.
Itulah sejarah singkat motor BSA yang legendaris di medan perang.
Data teknis :
Produksi : 1937–1955
Mesin : 496cc single cylinder side valve 4 stroke
Tenaga : 13bhp @4,200 rpm
Transmission : 4 Speed / chain
Penulis | : | Mohammad Nurul Hidayah |
Editor | : | Mohammad Nurul Hidayah |
KOMENTAR