MOTOR Plus-online.com - Penarikan motor atau mobil kredit oleh debt collector atau pihak leasing memang memunculkan pro dan kontra.
Debt collector yang biasa memantau motor kreditan di jalanan ternyata bisa langsung melakukan penyitaan.
Walaupun sempat ada putusan MK terkait larangan penarikan kendaraan, namun hal ini menjadi bias.
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) coba meluruskan simpang siur yang terjadi di masyarakat, mengenai perusahaan leasing tidak bisa menarik kendaraan debitur macet secara sepihak.
Baca Juga: Ada Kelonggaran Kredit Motor Tapi Debt Collector Bikin Ulah? Laporkan ke Nomor Ini Lewat Whatsapp
Baca Juga: Basmi Debt Collector Nakal, OJK Punya Langkah Jitu Biar Kredit Kendaraan Bermotor Tetap Lancar
Suwandi Wiratno, selaku Ketua Umum APPI menjelaskan, perusahaan leasing masih bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa pengadilan melalui pengadilan negeri (PN).
“Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan," ujar Suwandi, beberapa waktu lalu.
"Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan," imbuhnya.
Menurut Suwandi, masih banyak masyarakat yang salah menafsirkan terkait putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia.
Padahal, putusan MK tersebut justru memperjelas dan mempertegas Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
"Seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri," tutur Suwandi lagi.
"Keputusan MK itu tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Ada ruang lebar untuk mengeksekusi jaminan debitur macet," lanjutnya.
Suwandi menambahkan, dalam putusan itu disebutkan kalau eksekusi yang dilakukan perusahaan leasing tanpa lewat pengadilan tetap diperbolehkan, dengan syarat pihak debitur mengakui adanya kelalaian dalam melaksanakan kewajiban (wanprestasi).
Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya cedera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate executie).
Putusan MK itu juga menyatakan, mengenai wasprestasi antara pihak debitur dan kreditur harus ada kesepakatan terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanprestasi.
Jadi ada perjanjian sebelumnya, berapa pinjamannya, berapa bunga yang harus dibayar termasuk jangka waktunya.
Juga batas waktu pembayaran angsuran, bagaimana jika tidak membayar angsuran, dan berapa dendanya.
Penulis | : | Ahmad Ridho |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR