MOTOR Plus-Online.com - DKI Jakarta hari ini merayakan ulang tahun (HUT) ke-493.
HUT Kota Jakarta ini pun terasa berbeda karena tidak adanya hingar bingar lantaran berlangsung pada masa pandemi Covid-19.
Untuk menyambut HUT Jakarta, MOTOR Plus coba merangkum sejarah Jakarta pada tahun 1950 - 1970
Motor di Jakarta pada 1950-an sangat jarang sekali.
Baca Juga: Hoax atau Fakta, Usia 15 Tahun Sudah Bisa Bikin Sim C? Begini Kata Polisi
Merek yang ada umumnya bikinan Amerika dan Eropa, seperti Harley Davidson— sudah populer dan ada klubnya sejak zaman Belanda, BSA, BMW, Jawa— buatan Cekoslowakia, Ducati atau Mobilette dan Solex, lebih mirip sepeda yang diberi motor.
Sepeda motor buatan Jepang seperti Honda, Yamaha, dan Suzuki yang sejak 1960-an menyerbu masuk dan merajai jalanan Jakarta belum ada di era 1950-an.
Apalagi sepeda motor buatan Cina yang baru masuk Jakarta akhir 1990-an.
Mengendarai sepeda motor waktu itu umumnya tidak menggunakan helm.
Baca Juga: 4 Tujuan Wisata Di Jakarta Ini Dibuka Lagi, Bikers Mau Liburan? Begini Aturannya
Keharusan menggunakan helm belum berlaku waktu itu.
Penggunaan helm baru menjadi keharusan pada 1970-an, diprakarsai oleh Hugeng Iman Santoso sebagai Kapolri di tahun 1970-an.
Bengkel-bengkel motor, tukang bensin eceran yang menjamur sesudah 1970-an hampir tidak kelihatan.
Di Jakarta pada 1950-an, jarang sekali terjadi kemacetan atau tabrakan.
Baca Juga: Bikers yang Mau Belanja Sebaiknya Ditunda Dulu, 12 Pasar di Jakarta Tutup Karena Hal Ini
Sebab utamanya karena jumlah kendaraan bermotor yang sedikit.
Padahal, di perempatan-perempatan jalan belum dipasang lampu pengatur lalu lintas.
Paling-paling hanya ada polisi lalu lintas yang berdiri di tengah perempatan jalan sebagai pengaturnya, biasanya hanya dengan isyarat tangan dan menyemprit saja.
Ini pun hanya di perempatan jalan yang dianggap ramai atau penting saja.
Lampu lalu lintas baru ada satu atau dua saja di seantero Jakarta pada 1950-an.
Lampu lalu lintas mulai banyak dipasang pada permulaan 1970-an ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta.
Merk mobil di Jakarta pada 1950 terbanyak adalah buatan Amerika seperti Ford, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick.
Sejak zaman kolonial Belanda sudah ada pabrik perakit mobil General Motors yang merakit mobil-mobil buatan Amerika yang terletak di samping Pelabuhan Tanjung Priok.
Baca Juga: Jangan Main-main, Pengguna Sepeda Juga Bisa Ditilang Seperti Pemotor, Segini Dendanya
Selain mobil buatan Amerika, ada juga mobil buatan Inggris seperti merek Austin (terutama untuk kendaraan umum yang dikenal sebagai opelet sehingga sering juga disebut orang sebagai ostin, mengambil dari mereknya), Morris, dan Land Rover.
Selain itu juga ada buatan Italia merek Fiat (terkenal Fiat kodok) dan buatan Jerman seperti Volkswagen (terkenal VW kodok atau beetle, agen atau distributornya waktu itu ialah NV Piola di Kramat Raya, milik Keppler Panggabean, kakek Tika Panggabean (satusatunya personel perempuan Project Pop) dan Opel. Merek Mercedes dan BMW relatif masih jarang waktu itu.
Mobil buatan Jepang mulai ada sekitar sebelum Asian Games 1961,
Dimulai dengan mobil merek Mazda yang bentuknya seperti kotak sabun dan Bemo roda tiga.
Baca Juga: Bikers Harus Tunda Rekreasi dan Selfie, Gubernur DKI Jakarta Batalkan Pembukaan Monas Hari Ini
Mobil buatan Jepang mulai merajalela setelah zaman orde baru akhir 1960-an— dan berbagai produk barang Made in Japan lainnya.
Sebelum 1960-an, produk-produk Jepang masih dianggap mempunyai kualitas yang rendah.
Misalnya, ketika mobil Mazda kotak sabun baru saja datang di Jakarta, ada lelucon yang dibuat orang mengenai mobil itu.
Katanya, waktu mobil Mazda ini terserempet sehingga catnya mengelupas, maka terlihatlah tulisan Palm Boom, yaitu merek mentega.
Seolah-olah badan Mazda ini dibuat dari bekas-bekas kaleng mentega.
Toko-toko atau distributor mobil yang banyak dijumpai di Jakarta sesudah 1970-an masih jarang.
Hanya ada di beberapa jalan utama tertentu saja seperti di Kramat Raya dan Menteng Raya.
Toko-toko onderdil mobil juga sedikit sekali.
Bengkel-bengkel mobil pun belum banyak terlihat, apalagi model bengkel ketok magic belum ada sama sekali di masa itu.
Mobil-mobil waktu itu tidak ada yang mempunyai AC.
Teknologi AC mobil belum dikenal pada 1950-an.
Umumnya kalau mobil meluncur, maka semua jendela kacanya dibuka seluruhnya atau separuh agar angin masuk sehingga tidak panas.
Baca Juga: Hayo Catat Bikers, Ini 5 Lokasi SIM Keliling Di Jakarta Saat Masa PSBB Transisi
Waktu itu orang belum takut naik mobil dengan kaca jendela terbuka.
Masih aman, hampir tidak pernah ada penjambretan atau penodongan di jalan.
Jendela kaca dibuka dan ditutup secara manual, diputar pada gagang putarannya.
Laminasi kaca mobil sehingga gelap untuk mengurangi sengatan matahari yang populer sekali sesudah 1970-an juga belum dikenal orang.
Mobil juga belum mempunyai lampu sein kedap-kedip untuk tanda membelok.
Baca Juga: Bikers Waspada, 31 RW Di Jakarta Ini Jadi Zona Rawan Corona, Waduh Mana Aja Nih Bro?
Kalau mobil mau membelok, tanda diberikan dengan mengeluarkan tangan melalui jendela mobil, atau menggunakan sein khusus yang ditaruh di kanan kiri samping mobil yang akan keluar mengacung bila dinyalakan dari dalam mobil.
Mobil-mobil umumnya juga belum mempunyai radio, apalagi radio kaset.
Jadi kalau mau sedikit hiburan, hanya menyanyi sendiri atau bersama penumpang yang lain, atau bersiul-siul.
Source | : | berbagai sumber |
Penulis | : | Erwan Hartawan |
Editor | : | Aong |
KOMENTAR