"Penanganan tidak di taraf edukasi atau himbauan. Harus didukung pembuatan program perekrutan semua pelaku untuk kemudian dilatih oleh institusi negara."
"Sehingga ketika selesai pemikirannya bisa lebih baik. Mungkin bisa menjadi masukkan," lanjutnya.
Kang Emil menambahkan, bahwa pada dasarnya, orang Indonesia hanya butuh dirangkul.
Ibarat bola bekel, dipukul keras maka memantul keras.
"Intinya cuma satu sebenarnya, sibukkan para pemuda itu dengan kegiatan-kegiatan positif agar mereka tidak berbuat yang macam-macam," jelas Kang Emil.
Sementara itu, Butet Kartaredjasa menilai, maraknya fenomena klitih ialah wujud kompensasi anak-anak muda remaja mencari perhatian secara gampang dan primitif.
Cara yang paling mudah yaitu dengan membacok serta tindakan anarkis lainnya.
"Saya pikir infrastruktur tempat bertumbuhnya komunitas seni yang difasilitasi pemerintah melalui danais ini harus diperbanyak kegiatannya dan supportingnya karena ini merupakan kompensasi anak-anak muda, remaja mencari perhatian secara gampang dan secara primitif itu dengan membacok orang, melakukan tindakan anarki," kata Butet.
Baca Juga: Terungkap, Korban Klitih Di Yogyakarta Ternyata Anak Anggota DPRD Yang Sedang Cari Sahur
"Tapi kalau orang sudah bersentuhan dengan jalan kebudayaan, saya yakin asalkan ada infrastruktur untuk itu," lanjutnya.
"Itu saja yang diperkuat dan saya rasa Jogja sudah menjadi satu ranah kebudayaan yang sudah diuji oleh sejarah, mampu menumbuhkan anak-anak muda kayak saya ini, sejak remaja sudah berkesenian, menyelamatkan hidup saya juga lewat berkesenian," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Marak Fenomena Klitih di Yogyakarta, Ridwan Kamil Bandingkan dengan Penanganan Geng Motor di Bandung
Source | : | Tribunjogja.com |
Penulis | : | Indra Fikri |
Editor | : | Joni Lono Mulia |
KOMENTAR