Hal itu mengakibatkan korban begal yang dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian.
Seperti yang disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Indonesia (FHUI), Indriyanto Seno Adji.
"Sebaiknya penegak hukum melihatnya tidak dari perspektif kekakuan legalistik positivistik kepemilikan sajam dari si korban." ujarnya dikutip dari Kompas.com.
"Sehingga si korban justru ditempatkan posisinya sebagai tersangka," lanjutnya.
Menurut Indriyanto, pemahaman penegak hukum terlalu kaku menyikapi peraturan yang tidak sesuai dengan kondisi hukum senyatanya.
Penegak hukum harus melihat sebuah kasus dari sisi social and defence protection, sehingga tidak tepat jika korban begal dijadikan sebagai tersangka.
"Sehingga hilang sifat melawan hukum pemilikan sajam si korban dan dari sisi asas keadilan si korban tidak layaknya diposisikan sebagai tersangka sesuai prinsip Sifat melawan hukum materiel de fungsi negatif," jelasnya.
Baca Juga: Ditanya Apakah Saat Bertemu Begal Harus Lari dan Tinggalkan Motor? Ini Jawaban Polisi
Walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan begal, si korban dapat hilang sifat melanggar hukumnya.
Hal tersebut dikarenakan korban melakukan pembelaan diri.
Sebaliknya, pihak penegak hukum seharusnya menetapkan begal sebagai tersangka sesungguhnya dari kasus tersebut.
"Justru penegak hukum yang harus menempatkan begal sesungguhnya atau real actor sebagai tersangka dan bukan menciptakan antitesis yang berkelebihan," jelasnya.
Nah, kalau brother sendiri lebih setuju dengan ucapan ahli pidana, atau punya pendapat sendiri nih?
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ramai soal Korban Begal Jadi Tersangka di Lombok, Ini Kata Ahli Pidana"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Galih Setiadi |
Editor | : | Galih Setiadi |
KOMENTAR