Pertama dari sisi konsumen, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio- Economic Development (RISED), lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah.
Dan konsumen memilih menggunakan ojol dikarenakan harganya yang terjangkau.
Hal ini menyebabkab ketika kenaikan tarif ojol yang terlalu tinggi, menjadikan ojol tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen.
Padahal layanan ojol kini memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan ekonomi.
Efeknya, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaran pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.
“Ketika tarif ojol naik di tahun 2019, sebanyak 75 persen konsumen menolak kenaikan harga ojol. Persentase penolakan tersebut tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar di tahun 2022 ini," ujarnya.
"Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar akan ada lebih dari 75 persen konsumen yang menolak, karena kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi,” tambah Rumayya, yang juga merupakan Ketua Tim Peneliti RISED.
Dampak kedua yaitu dari sisi driver ojol, Rumayya mengatakan, niat baik pemerintah untuk mensejahterakan driver ojol melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.
Tetapi menurutnya, kenaikan tarif ojol tidak selalu berhubungan langsung dengan kesejahteraan driver.
Ia mencontohkan ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojol tinggi, maka potensi pendapatan driver akan menurun.
Source | : | Wartakotalive.com |
Penulis | : | Yuka S. |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR