Penelitiannya juga menunjukkan, hanya 5% pengemudi ojek online yang sebelumnya bekerja sebagai driver ojek konvensional, sedangkan 49% merupakan karyawan kantoran.
Selebihnya adalah pelajar, pengangguran atau mereka yang sebelumnya bekerja di sektor informal lain.
“Artinya aplikasi ojek online gagal mentransformasi pengemudi ojek konvensional."
"Sebab, nyatanya pengemudi ojek online adalah orang-orang yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap di kantor,” ujarnya melalui keterangan tertulis ke Kontan.co.id, awal pekan ini.
Yorga yang merupakan peneliti Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) mengatakan, beragam kasus kecelakaan yang dialami pengemudi ojol karena mereka diduga kelelahan.
Hal ini tentu harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk memperketat regulasi dan operator mengevaluasi model bisnis ojek online.
Di sisi lain, agenda penciptaan lapangan kerja di sektor formal harus menjadi prioritas.
Sehingga menjadi pengemudi ojol bukan satu-satunya pilihan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah.
Banyak pengemudi ojek online yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena iming-iming penghasilan tambahan yang menarik.
Namun sebagian besar kini menyesal lantaran penghasilan mereka kini terjun bebas.
Menurut penelitiannya, ada tiga faktor yang membuat para pengemudi ojek online ini ingin meninggalkan pekerjaannya.
Baca Juga: Mencekam, Driver Ojol Tewas di Wilayah Konflik Bersenjata, Tinggalkan Anak yang Masih Balita
Pertama, penghasilan para driver sudah merosot, bahkan sebelum pandemi COVID-19.
Skema bonus harian yang ditawarkan aplikasi tidak lagi seatraktif di awal kehadirannya.
Kedua, semakin banyaknya pengemudi yang bergabung ke dalam aplikasi sehingga pengemudi merasa bersaing satu sama lain.
Ketiga lantaran faktor pandemi Covid-19 di mana sektor transportasi adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat pembatasan sosial.
Penulis | : | Albi Arangga |
Editor | : | Joni Lono Mulia |
KOMENTAR