Pedagang di Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, Robert Kaka dan Ina Asti bilang mereka menjual Pertalite dengan harga mahal lantaran membelinya juga dengan harga melambung tinggi.
Untuk jerigen ukuran 20 liter dibeli dengan harga Rp 260.000 bahkan hingga Rp 280.000 per jerigen 20 liter dari sebelumnya Rp 230.000/20 liter hingga Rp 240.000/20 liter.
Kondisi itu baru terjadi selama dua tiga hari terakhir ini, pihaknya terpaksa menjual lebih mahal atau mengurangi takaran supaya mendapat untung.
Rata-rata satu jeriken mendapat keuntungan Rp 25.000-Rp 30.000.
ara pedagang mengaku membeli BBM jenis pertaliet dari para sopir pikap.
Kebanyakan para sopir datang menawarkan kepada pengecer setiap hari setelah antre di SPBU.
Untuk ukuran kendaraan pikap, sekali isi mendapat sekitar 40 liter lebih.
Baca Juga: Dosen ITB Ungkap Kesalahan Ketika Beli BBM di SPBU Jadi Sebab Pertalite Boros Ternyata Ini Sebabnya
Oleh karena itu, keduanya meminta bila ingin harga BBM kembali normal maka pemerintah harus tegas menertibkan motor dan mobil pikap bahkan kendaraan pribadi yang setiap hari antre isi BBM di SPBU Rada Mata dan SPBU Taworara.
Soalnya, jenis kendaraan itu berkali-kali mengisi hingga stok habis, makanya tidak heran jika dalam sehari SPBU hanya buka 3-4 jam.
Di SPBU Rada Mata, antrean motor dan mobil pikap memadati jalan raya pada Kamis (21/12/2023) sejak pukul 06.30 WITA.
Rata-rata disekitar area SPBU termasuk di kompleks pasar lama penuh tumpukan jeriken hiingga jalan raya depan pasar atau samping SPBY.
Sementara itu, SPBU tersebut mulai membuka pelayanan sekitar pukul 08.00 wita dan habis sekitar pukul 11.40 WITA.
Salah seorang petugas SPBU mengatakan stok BBM jenis pertalite setiap hari masuk kecuali hari mingggu sebanyak 8.000 liter.
Namun stok tidak bertahan lama karena antrean kendaaran sangat padat, makanya stok hanya bertahan 3-4 jam saja.
Artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul "Harga Pertalite Eceran di Sumba Barat Daya Tembus Rp 35 Ribu per Botol"
Penulis | : | Galih Setiadi |
Editor | : | Aong |
KOMENTAR