Bahkan patuh hukum seolah olah hanya karena ketakutan akan ancaman.
"Apa yang disampaikan menunjukkan hukum menjadi hantu dan kesadaran akan lalu lintas sebagai urat nadi kehidupan sama sekali diabaikan," tuturnya.
Menurut dia, hukum adalah simbol peradaban yang merupakan produk politik sebagai kesepakatan bersama untuk menata keteraturan sosial.
Di dalam penegakkanya takala tidak ada atau tidak ditemukan rasa keadilan hukum boleh diabaikan karena penegak hukum adalah juga penegak keadilan.
(BACA JUGA:Banyak Yang Belum Tahu, Ternyata Aki Gel Dengan Aki Konvensional Bedanya Ada di Bagian Ini Lho...)
Penegak hukum memiliki kewenangan diskresi, alternative dispute resolution bahkan bisa menerapkan restorative justice.
"Hukum ada sanksinya, ya tentu saja karena setiap pelanggaran berdampak luas dan social cost nya mahal atau setidaknya menjadi kontra produktif," bebernya.
Ia menilai, pelanggaran lalu lintas akan berdampak pada terjadinya kemacetan, kecelakaan atau masalah lalu lintas lainya.
Masalah lalu lintas sering kali dianggap hal biasa tidak dipikirkan social costnya.
(BACA JUGA:Beneran Nih, Modal Kurang Dari Rp 2 Juta Bisa Bikin Akselerasi Honda CRF150L Makin Galak?)
"Pelanggaran dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja hal lumrah dan banyak pelanggar kalau sudah lengkap surat-suratnya boleh berbuat apa saja," ucapnya.
Menurut dia, program dekade aksi keselamatan sebagai implementasi road safety pada penegakan hukum memiliki 7 poin antara lain; Helmet, Speed, Seat belt, Drink driving, Child restrain, Konsentrasi mengemudi dan sebagai contoh menggunakan Handphone saat berkendara, Melawan arus.
Lantas apa tujuannya?
1. Mewujudkan lalu lintas yang aman selamat tertib dan lancar.
2. Meningkatnya kualitas keselamatan dan menurunya tingkat fatalitas korban kecelakaan.
3. Terbangunnya budaya tertib berlalu lintas seringkali kurang dipahami.
Untuk itu, penegakkan hukum dilakukan bukan untuk menyalahkan atau sekedar mencari kesalahan.
Penulis | : | Fadhliansyah |
Editor | : | Fadhliansyah |
KOMENTAR