MOTOR Plus-online.com - Kredit motor identik dengan keberadaan debt collector di pinggir jalan.
Namun hal itu hanya berlaku untuk debitur atau pemilik motor kredit yang bermasalah soal pembayaran.
Enggak jarang pemilik motor ketakutan saat berpapasan dengan debt collector.
Padahal, pihak leasing meminta pihak ketiga (debt collector) untuk menyita motor yang bermasalah.
Baca Juga: Waspada, Debt Collector Bisa Langsung Ambil Motor Nunggak Kreditan di Jalan, Ini Tiga Syaratnya
Debt collector atau leasing juga bisa menarik kendaraan di jalanan.
Ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK tersebut justru memperjelas Pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cedera Janji antara Debitur dan Kreditur.
“Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan,” ujar Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Menurut Suwandi, saat ini ada simpang-siur pendapat di masyarakat pasca-putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia.
“Seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri,” jelas Suwandi.
Padahal, lanjut dia, sejatinya tidak demikian.
Perusahaan leasing masih bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa pengadilan.
“Keputusan MK itu tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Ada ruang lebar untuk mengeksekusi jaminan debitur macet,” tegasnya.
Baca Juga: Setelah Putusan MK, Leasing dan Debt Collector Masih Bisa Tarik Kendaraan, Karena Alasan Kuat Ini
Lalu kenapa debt collector sering merampas atau menyita motor yang menunggak cicilan di jalan?
Suwandi merinci sebenarnya penarikan motor kreditan bermasalah di jalan raya tidak diperbolehkan, tapi hal ini karena alasan keterpaksaan.
Maksudnya penarikan motor di jalanan terpaksa dilakukan karena khawatir si penunggak cicilan melarikan diri atau mangkir soal pembayaran cicilan di kemudian hari.
"Seharusnya tidak seperti itu. Penarikan motor kredit bermasalah biasanya dilakukan di rumah dan sebelumnya sudah dilayangkan dua kali surat teguran untuk penunggak cicilan. Saat pihak leasing atau debt collector ke rumah si pemilik motor malah menghilang. Karena itu tindakan menyita motor oleh debt collector sering dilakukan di jalanan," lanjutnya lagi.
Baca Juga: Enggak Bisa Sembarangan, Debt Collector Harus Punya Ini Kalau Mau Tarik Motor atau Tagih Hutang
Ancaman pidana untuk debitur bermasalah
Sementara itu, ada juga beberapa debitur macet justru minta perlindungan “LSM” agar tidak dikejar pihak ketiga.
Selama ini perusahaan leasing mengklasifikasi empat kategori debitur yang macet:
1. Nasabah ada, unit (motor/mobil) ada;
2. Nasabah ada, unit (motor/mobil) tidak ada;
3. Nasabah tidak ada, unit (motor/mobil) ada;
4. Nasabah tidak ada, unit (motor/mobil) tidak ada.
Baca Juga: Setelah Putusan MK, Leasing dan Debt Collector Masih Bisa Tarik Kendaraan, Karena Alasan Kuat Ini
Nah, untuk kategori 2, 3, dan 4 tentu tidak bisa lewat pengadilan.
Padahal para debitur ini macet dan belum lunas, dan menimbulkan kerugian bagi leasing.
"Tiga Jenis nasabah tersebut juga bisa terkena hukum pidana berdasarkan UU Jaminan Fidusia Nomor 42 tahun 1999 pasal 35 dan 36," jelas Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Baca Juga: Waduh, Pascaputusan MK Tentang Fidusia, Leasing Bakal Persulit Kredit Motor dan Mobil?
Pasal 36
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Penulis | : | Ahmad Ridho |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR