MOTOR Plus-online.com - Ada rencana pembayaran DP (uang muka) untuk pembelian motor naik 60 persen.
Dan juga BPKB akan menggunakan nama leasing.
Hal itu disebutkan oleh Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Menurut Suwandi kedua langkah tersebut akan dipersiapkan, karena beberapa alasan.
Baca Juga: Setelah Putusan MK, Leasing dan Debt Collector Masih Bisa Tarik Kendaraan, Karena Alasan Kuat Ini
Yang pertama adalah karena pemilik motor (debitur), tidak membayar atau menunggak cicilan yang sudah jadi kewajibannya.
Selanjutnya adalah banyak motor yang menunggak kredit disalahgunakan oleh debitur.
Seperti digadaikan atau mengoplos (menukar) komponen-komponen motor kreditan dengan motor lain.
Yang ketiga adalah terkadang debitur macet ini sulit untuk dihubungi dan tidak kooperatif.
Baca Juga: Enggak Bisa Sembarangan, Debt Collector Harus Punya Ini Kalau Mau Tarik Motor atau Tagih Hutang
"Apa kita harus menaikkan DP hingga 60%? Atau nama BPKB atas nama pihak kreditur yang saat pelunasan, debitur masih harus membutuhkan biaya untuk balik nama. Kendaraan tersebut pun menjadi tangan kedua," ucap Suwandi.
Bahkan ada debitur yang masih ingin mempertahankan kendaraannya, padahal dia telah lalai membayar kewajibannya.
“Hal ini dilakukan agar terhindar dari jebakan debitur sontoloyo, yakni debitur yang tidak mau membayar utangnya, tapi masih tetap ingin menguasai kendaraannya yang belum lunas di bayar,” ujar Eko B. Suprianto, Chairman Infobank Institute.
Selama ini bisnis model perusahaan leasing hanya mengandalkan uang muka, dengan jaminan BPKB atas nama debitur.
Baca Juga: Waduh, Pascaputusan MK Tentang Fidusia, Leasing Bakal Persulit Kredit Motor dan Mobil?
Bayangkan, hanya bermodal uang muka 10% atau lebih kecil, seseorang sudah bisa membawa kendaraan, meski BPKB sebagai jaminan atas nama debitur.
Jika terjadi wanprestasi, maka kreditur akan mengeksekusi sebagai pemegang fidusia.
Dalam hal ini pihak leasing atau kreditur akan melibatkan pihak ketiga (debt collector) untuk melakukan eksekusi.
Debt collector sendiri sudah dilengkapi dengan sertifikasi profesi tersebut yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Kuangan (POJK) nomor 35 tahun 2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan.
Dalam POJK nomor 35 pasal 65 berbunyi, pegawai dan/atau tenaga alih daya perusahaan pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK.
Sertifikasi profesi bagi debt collector tersebut biasanya dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Debt Collector harus menunjukkan sertifikasi profesinya saat melakukan tugas tagihan kepada debitur.
Jika dalam menjalankan tugasnya debt collector tersebut ternyata tidak memiliki sertifikasi profesi maka akan diberikan sanksi.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi jika debt collector ingin menyita motor kreditan yang bermasalah.
1. Debitur terbukti wanprestasi
2. Debitur sudah diberikan surat peringatan, dan
3. Perusahaan Pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan, dan/atau sertifikat hipotek.
Penulis | : | Fadhliansyah |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR