Sehingga untuk eksekusi barang harus melalui putusan pengadilan dan eksekusi didampingi pihak kepolisian.
"Penarikan unit atau eksekusi barang harus ada putusan pengadilan, yang terikat Fidusia kan ada putusan pengadilan, nanti eksekusinya tetap harus didampingi Polri," ujarnya.
Djuhandhani menegaskan, penarikan paksa dengan cara perampasan, tindak ancaman hingga kekerasan maupun memaksa menggiring kreditur ke tempat leasing untuk menandatangani penyerahan unit bisa segera melapor ke kantor polisi terdekat.
Akan tetapi kreditur juga diingatkan supaya memenuhi kewajiban membayar sesuai perjanjian pembelian barang secara kredit atau angsuran.
Baca Juga: Langsung Tepar, Oknum Ormas Duel Lawan Debt Collector Jadi Tontonan Pemotor
"Itu praktek-praktek yang salah, yang harus dipahami oleh masyarakat, itu tidak benar, kalau memang ada seperti itu segera laporkan ke kantor polisi terdekat. Itu sebuah modus mereka, tapi kan sekarang aturannya jelas harus melalui putusan pengadilan," jelasnya.
Di samping itu, Djuhandani juga menekankan bahwa Ditreskrimum Polda Bali berkomitmen menumpas aksi-aksi premanisme yang meresahkan masyarakat, melalui operasi-operasi dan kegiatan rutin yang ditingkatkan (KRYD).
"Kalau perkara semalam itu (kasus dugaan pembunuhan debt collector dengan kreditur di Denpasar,-red) pengeroyokannya jelas kita tuntaskan dengan penegakkan hukum, manakala masih terjadi kita akan terus lakukan penegakan hukum," ujarnya.
Ia menambahkan, Debt Collector bukan merupakan lembaga atau instansi yang berwenang melakukan eksekusi terhadap barang.
Baca Juga: Pantas Galak, Segini Upah Debt Collector Untuk Sekali Tarik Motor
Polisi bisa menerapkan pasal pidana 368 ayat (1) KUHP terhadap pelaku yang terbukti bersalah.
"Bisa ditetapkan 368 KUHP," tegas Dir Reskrimum Polda Bali.
Source | : | Tribun Bali |
Penulis | : | Erwan Hartawan |
Editor | : | Aong |
KOMENTAR