Fahmy juga menilai curhatan Jokowi terkait subsidi dan kompensasi tersebut salah sasaran.
Sebab, terkait subsidi dan kompensasi selama ini dinilainya tidak pernah ada solusi dan hanya berseliweran pada tataran wacana saja.
Padahal, untuk menekan mengelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, menurutnya, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan.
"Pertama, penetapan harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan saja kepada Pertamina untuk menetapkan harganya sesuai harga keekonomian," tegasnya.
Dengan begitu, negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian.
"Kedua, tetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan," tuturnya.
Baca Juga: 11 Wilayah Beli Pertalite Pakai Aplikasi MyPertamina Per 1 Juli 2022, Begini Cara Daftar
Fahmy menilai, pemerintah perlu menetapkan saja pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaraan angkutan.
"Ketiga, hapus BBM RON 88 Premium. Alasannya, kendati penggunaan Premium sudah dibatasai hanya di luar Jawa Madura Bali (Jamali), tapi impor dan subsidi Premium masih cukup besar yang juga menambah beban APBN," tuturnya.
Oleh karena itu, sarannya, akan lebih produktif bagi presiden Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN.
Dengan menurunkan beban subsidi BBM tentunya dana subsidi tersebut dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN.
"Upaya itu sesungguhnya pernah dilakukan Jokowi di periode pertama pemerintahannya dengan memangkas subsidi BBM dalam jumlah besar demi membiayai pembangunan infrastruktur," tandas Fahmy.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul "Pakar Ekonomi UGM : Implementasi MyPertamina Bisa Terganjal Koneksi Internet"
Source | : | TribunJogja.com |
Penulis | : | Aditya Prathama |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR