Mengapa pelanggar justru dijadikan sebagai duta?
Sosiolog Univeritas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, adanya pelanggar aturan yang didapuk menjadi duta ini merupakan sebuah inovasi sosial.
Menurutnya, pemberian gelar duta menjadi hukuman dalam bentuk lain agar memberikan pelajaran bagi pelaku.
"Yang penting bagaimana orang-orang yang melanggar aturan atau norma hukum tidak dihukum langsung."
"Tapi diberi sebutan yang baik dan menjadi pelajaran bahwa itu tidak baik," kata Drajat Tri Kartono dikutip dari Kompas.com.
Drajat menjelaskan, hal ini secara sosiologis disebut dengan artikulasi.
Maksudnya, kata duta diartikulasikan untuk sebuah tindakan pelanggaran atau kesalahan.
Dengan begitu, ada peranan yang diberikan secara sosial, bukan hukuman bersifat fisik.
Baca Juga: Awas STNK Diblokir Gara-gara Surat Tilang Elektronik Nyasar, Polisi Kasih Solusi
"Ada hukuman-hukuman itu yang sifatnya represif, yaitu orangnya dikucilkan, fisiknya dihukum. Ada juga yang sifatnya restitutif atau diganti dengan lain," jelas dia.
Dalam pemberian gelar duta bagi pelanggar hukum, Drajat memasukkannya ke dalam kategori hukum restitutif.
Agar tidak menginspirasi banyak orang untuk melakukan pelanggaran, ia mengingatkan bahwa pemberian gelar duta itu juga harus tetap memiliki signifikansi hukuman.
"Signifakinsinya harus betul-betul masih tampak betul sebagai hukuman. Ini merupakan sindiran ke media massa secara luas agar lebih dikenal banyak orang kalau dia merupakan pelanggar," ujarnya.
"Jadi signifikansi negatif yang dikemas secara positif."
"Jika tidak, itu justru bisa diikuti banyak orang, karena menjadi status yang bagus," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Marak Pemberian Gelar "Duta" pada Pelanggar, Apa yang Terjadi?"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Aditya Prathama |
Editor | : | Joni Lono Mulia |
KOMENTAR