"Masyarakat dengan pendapatan pas-pasan mungkin akan keberatan juga. Efeknya orderan kami bisa berkurang," ujarnya.
Driver ojol asal Jakarta Timur, Agung, juga menjelaskan hal yang serupa.
Ia mengatakan, menurutnya kemacetan di Jakarta tidak bisa teratasi dengan sistem ERP.
"Penyebab macet itu jumlah kendaraan selalu meningkat. Jadi biar enggak macet, pembelian motor dan mobil baru harusnya tidak mudah atau bisa kredit seperti saat ini," ujar pria ini kepada GridOto.com, Kamis (19/1/2023).
Agung menambahkan, jalan berbayar mungkin akan efektif di negara maju dengan pendapatan masyarakat yang tinggi.
"Kalau di Indonesia khususnya Jakarta, saya rasa tidak cocok. Selain itu, jalan berbayar hanya akan memindahkan titik kemacetan, akibatnya masyarakat menengah ke bawah seperti kami bisa makin melarat," beber Agung.
Baca Juga: Motor Juga Berlaku Jalan Berbayar, Dishub DKI Berharap Jumlah Pemotor Berkurang
Untuk informasi, wacana ERP akan diberlakukan tahun ini di 25 jalan di wilayah Ibu Kota.
Sedangkan tarif jalan berbayar diusulkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta sebesar Rp 5.000 sampai Rp 19.000.
Dalam Rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PL2SE), jalan berbayar akan berlangsung setiap hari pada pukul 05.00 sampai 22.00 WIB.
Untuk melewati ERP, kendaraan wajib dilengkapi dengan perangkat identitas kendaraan elektronik.
Jika kendaraan yang melewati jalan berbayar tidak dilengkapi alat tersebut, pemerintah akan mengenakan sanksi 10 kali lipat tarif tertinggi.
Mengacu pada usulan yang disampaikan Dishub DKI Jakarta, pengendara dapat dikenakan sanksi sebesar Rp 190.000.
Artikel ini telah tayang di GridOto.com dengan judul "Driver Ojol Sebut Wacana Jalan Berbayar di Jakarta Tidak Tepat, Hidup Bisa Semakin Melarat"
Penulis | : | Harun Rasyid |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR