Adapun aturan terbaru yang dimaksud ada pada amar putusan nomor 2 yang ditandatangi Ketua MK, Umar.
Ia menyatakan jika Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian disebutkan juga terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia.
Artinya, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jadi, jika debitur atau nasabah kredit merasa keberatan kendaraannya diambil meski wanprestasi, maka pihak leasing tidak boleh mengambilnya secara paksa.
Dengan hal tersebut, leasing atau debt collector boleh mengambil kendaraan apabila sudah ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Sementara pada aturan sebelumnya tertuang dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dalam ayat (2) disebutkan, sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sementara ayat (3) menyatakan apabila debitur cedera janji, penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Baca Juga: Kasus Debt Collector Bentak Polisi Makin Panas, Irjen Fadil Imran Akan Dilaporkan ke Propam
Dengan kata lain, kreditur atau pihak leasing dibolehkan menarik langsung kendaraan apabila debitur wanprestasi, cedera atau ingkar janji.
Adanya aturan lama ini, berdampak pada berkembangnya profesi debt collector yang menarik mobil atau motor kredit yang gagal dilunasi
Oleh sebab itu, ketentuan baru MK ini membatalkan aturan UU No, 42/1999 tersebut.
Penulis | : | Albi Arangga |
Editor | : | Joni Lono Mulia |
KOMENTAR