Dalam Islam, seseorang yang sedang bepergian mendapat keringanan untuk membatalkan puasanya, seperti bunyi surat Al Baqarah ayat 185
"Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
Walau begitu, mantan Mufti Mesir Syekh Ali Jum'ah Muhammad mengatakan, seseorang yang memilih untuk tetap berpuasa dalam kondis bepergian memiliki pahala lebih besar.
Menurutnya, setiap musafir memiliki batasan masing-masing terkait beratnya menjalani puasa ketika bepergian.
Apabila seorang musafir merasa kesulitan, maka ia mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.
Bagi musafir yang tidak berpuasa, maka ia diwajibkan untuk menggantinya di luar Ramadhan.
Hal serupa juga terjadi bagi seseorang yang tidak berpuasa karena pekerjaan berat.
Batas mengganti puasa Ramadhan tersebut adalah sampai pada Ramadhan tahun selanjutnya, dengan catatan di luar hari yang diharamkan puasa.
Baca Juga: Sejarah Tukang Sapu Logam di Pantura Pada Musim Mudik Antara Legenda dan Kecelakaan Maut
Jika seseorang tak kunjung membayarnya hingga datang Ramadhan selanjutnya, maka ia berdosa.
Ia juga diwajibkan membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin satu orang setiap hari puasa, selain tetap mengganti puasanya.
Besaran fidyah yang harus dibayarkan adalah memberi makan fakir miskin sebesar 1 mud atau 0,6 kilogram beras untuk satu hari puasa.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketentuan Puasa bagi Musafir, Apa Saja?"
Penulis | : | Ardhana Adwitiya |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR