Baca Juga: Pemotor Waspada, Tukang Parkir di Semarang Peras Wisatawan Asal Bogor Langsung Dijemput Polisi
Selain tiga bentuk tersebut, menurut Agus, pungutan parkir tanpa pengelolaan dan tidak menyertakan tiket atau karcis masuk dalam bentuk pungutan liar (pungli).
Di sisi lain, masyarakat yang merasa dirugikan dengan parkir liar dapat menolak bahkan melaporkan pungli ini kepada Pemda maupun pihak berwenang.
"Dalam hal ini (kepada) Dinas Perhubungan atau UPT Perparkiran atau kepolisian," kata Agus.
Misalnya, jika terjadi di Jakarta, masyarakat dapat melaporkan keberadaan parkir liar karena daerah ini memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran.
Sedangkan di tingkat nasional, pungutan parkir liar dengan pemaksaan dapat diadukan kepada kepolisian menggunakan pasal pemerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Pasal 368 ayat (1) KUHP, tindakan pemerasan tersebut dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Berikut isi lengkap Pasal 368 ayat (1) KUHP:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Bukan hanya masyarakat, pelaporan dapat juga dilakukan oleh rumah makan maupun toko ritel tempat tukang parkir memungut uang.
"Pihak rumah makan atau ritel yang kedapatan parkir liar juga memiliki tanggung jawab untuk melaporkan hal ini," ujar Agus.
Penulis | : | Ahmad Ridho |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR